Jumat, 23 Mei 2014

Harapan itu Masih Ada



HARAPAN ITU MASIH ADA
          Pagi itu langit tampak begitu cerah. Guratan awan putih terlukis indah di cakrawala ditemani sang surya yang seakan masih malu menampakkan pesonanya. Kicau burung dan hembusan angin yang semilir menggoyangkan dedaunan seakan menambah rasa damai di kampus konservasi tercinta. Gedung-gedung yang berdiri kokoh tampak seakan membisu menandakan bahwa tiada keramaian di dalamnya. Hari yang masih terlalu pagi untuk memulai segala aktivitas kampus yang ada. Namun, pagi itu, tampak seorang gadis remaja dengan baju merah ditemani laptop di tangannya sedang duduk sembari menikmati suasana yang ada. Ia nampak sedang menanti seseorang di sana.
“ Wah, baru jam 06.00 to, pantesan masih sepi,” gumam gadis itu sambil melirik jam berwarna hitam yang melingkar di tangan kirinya.
“ Robi’!” teriak seorang anak laki-laki sambil melambaikan tangan ke arahnya.
“ Udah lama di sini? Sorry ya aku telat, tadi soalnya aku sarapan dulu,” jelasnya.
“ Ya gak papa kok,Fred. Lagian Lilis juga belum datang. Dia SMS aku tadi, bilangnya dia kesiangan, jadinya mungkin rada telat dianya,” ucapku sembari mengotak-atik tulisan di laptop.
“Gimana Bi’, hasil koreksian artikel kita dari Mbak Firstya? Bagus apa gak?”, tanya Fredi seakan penasaran menanti jawaban dari mulutku.
“ Ada kabar buruk,Fred. Kata Mbak Firstya artikel lomba debat kita masih jelek dan belum layak diikutkan lomba,” jelasku sambil memperlihatkan hasil koreksian ke dia.
“ Loh kok bisa to Bi’? Kita kan bikinnya udah mati-matian. Kita juga bikinnya gak asal-asalan, udah sesuai prosedur menulis artikel yang baik dan benar. Tapi, di sini kok gak ditulis bagian mana saja yang salah sich Bi’? Jangan-jangan Mbak Firstya asal-asalan ngoreksi artikel kita,” gerutu Fredi.
“ Gak tau, Fred. Mbak Firstya bilangnya gitu, artikel kita belum layak diikutkan lomba. Dia bilangnya judul kita kurang menarik, ejaan masih banyak yang salah, terus bilangnya itu bukan artikel tapi lebih mirip ke teks apa gitu, aku lupa,” jelasku.
“Masak sich,Bi’? Menurutku ini udah artikel dech. Kita bikinnya ini kan juga gak sembarangan, udah sesuai pedomannya. Masak dibilang bukan artikel sich,” ujarnya penasaran.
“Aku sich nganggepnya ini juga udah artikel. Tapi gak tau kenapa Mbak Firstya bilang ini bukan artikel,” jawabku sembari memeriksa artikel di tanganku.
“Hai, guys, sorry aku telat, tadi kesiangan soalnya,” jelas Lilis yang tiba-tiba muncul dari arah belakang kami, memecahkan percakapan antara aku dan Fredi.
“Gimana-gimana hasilnya? Sudah bagus kan artikel kita? “ tanya Lilis.
“Artikel kita kata Mbak Firstya belum layak ikut lomba,Lis,” jawabku sambil melenguh panjang.
“Apa? Kok bisa?” tanyanya penasaran.
“ Yah gitu,Lis. Mbak Firstya bilang masih banyak yang harus dibenahi dalam artikel kita. Tapi dia gak ngasih tahu bagian-bagian mana yang salah. Cuma bilang judul kita belum menarik terus ejaannya juga masih banyak yang salah, tapi kita gak tau letak kesalahannya di mana,” jelas Fredi panjang lebar.
“ Yah...gak bisa gitu dong. Mbak Firstya kok gitu sich, malah mematahkan semangat kita. Dulunya kita disuruh ikut lomba debat ini, giliran kita udah bikin artikelnya malah dibilang masih belum layak ikut lomba. Aduh..,jadi pusing aku. Lha terus, kita mau gimana nich, Fred, Bi’?Lanjut apa gak?” tanya Lilis sambil menatap ke arahku dan Fredi.
“Aku sich pengennya lanjut. Kalau kamu gimana Bi’? Kamu kan ketua kelompok kita. Semua keputusan ada di tanganmu,” tanya Fredi kepadaku.
“ Aku bingung,Fred,Lis. Kalau kita lanjut, itu berarti kita harus bikin lagi dari awal. Sedangkan batas pengumpulan artikel ke panitia kan besok. Apa kita masih punya waktu untuk membenahi artikel kita dari awal? Apa kita sanggup untuk menyelesaikan malam ini?” tanyaku kepada mereka berdua.
“ Ah gini aja,Bi’. Kita gak perlu membuat ulang dari awal lagi. Kalau Mbak Firstya minta kita buat bikin ulang dari awal karena menurutnya artikel kita jelek itu kan cuma pendapat dari dia doang. Yang lain belum tentu punya pendapat yang sama kan dengan Mbak Firstya. Lagian pas kemarin kita nunjukkin artikel kita ke temen-temen, mereka kan bilangnya udah bagus. Memang judul artikel kita rada kurang menarik dan masih ada beberapa ejaan yang kurang sempurna, tapi kan gak semuanya salah seperti yang dibilang Mbak Firstya. Jadi menurutku kita tetep lanjut aja dech,” jelas Fredi dengan mantap.
“ Setuju banget sama Fredi,” ucap Lilis sambil mengacungkan dua jempol ke arahnya.
“ Jadi menurut kalian kita tetep lanjut dan judul artikel kita diganti yang lebih menarik lagi dan ejaannya yang sekiranya salah, kita betulin lagi gitu?” tanyaku kepada mereka berdua.
“ Yap!” jawab Lilis dan Fredi serempak.
“ Oke, kalau gitu mari kita lanjutkan dan benahi artikel kita. Peduli amat sama pendapat Mbak Firstya. Artikel kita bagus kok dan layak ikut lomba. Ya gak,guys?” ujarku bersamangat.
“ Yoi,Bi’. Pokoknya kita harus tunjukin ke Mbak Firstya kalau artikel kita gak seperti yang dia bilang. Kita harus tunjukin bahwa artikel kita bisa masuk final lomba debat ini. Setuju,guys?” ucap Fredi menggebu-gebu.
“ Setuju!” jawabku dan Lilis bersemangat.
            Setelah memutuskan kita bakalan lanjut, kami bertiga memulai untuk melakukan pengkoreksian ulang. Kita begitu bersemangat, seperti semangatnya bangsa Indonesia dalam melawan penjajah. Harapan yang hilang karena dibilang artikel kita tidak layak, tiba-tiba muncul kembali. Kami yakin harapan itu masih ada. Tuhan tidak tidur. Tuhan pasti membantu umatnya yang mau berusaha dan berdoa, itulah yang kami yakini. Kami seakan merasakan jernihnya pikiran kami saat melakukan pengkoreksian ulang. Ide begitu derasnya mengalir tanpa bisa dibendung. Judul pengganti sudah kami tentukan, yang semula “ Pro dan Kontra Kurikulum 2013” kami ubah menjadi “Mengkaji Ulang Kurikulum 2013”. Menurut kami judul itu sudah sesuai dan sudah bisa mempresentasikan isi dari artikel kami. Sedangkan untuk ejaan yang masih salah kami mencoba membetulkannya sesuai KBBI. Kami membetulkan beberapa kata yang salah seperti ekstrakulikuler menjadi ekstrakurikuler, kemudian tanda baca yang kurang sesuai juga kami betulkan. Semua yang dirasa oleh kami kurang sesuai kami betulkan sesuai kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kebetulan hari itu kami bertiga tidak ada jadwal kuliah, jadinya kami bisa melakukan pengkoreksian dan membenahi artikel kami seharian penuh. Begitu asyik kami mengerjakan artikel kami sampai-sampai tak terasa hari mulai petang. Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 17.45 WIB. Tak lama berselang, terdengar suara adzan Magrib berkumandang dari salah satu masjid yang tak jauh dari tempat kami berada.
“ Udah Magrib nich,Bi’. Gimana udah selesai kan?” tanya Fredi kepadaku.
“ Udah, Fred. Tinggal daftar pustakanya doang. Nanti aku tambahin saat di kos aja, sekalian aku kirim. Di sini jaringannya mulai lemot nich, daripada ntar kelamaan mending tak kirim kalau udah di kos aja, pake modem lebih cepet soalnya,” terangku kepada Fredi.
“ Okay dech,Bi’. Berarti ini udah beres semua ya? Tinggal ngirim doang kan?” tanya Fredi.
“ Yoi, Fred. Nanti malam biar aku yang ngirim. Nanti tanggal 20 kan pengumumannya di kirim lewat emailku. Lolos atau enggaknya nanti aku kabarin kalian. Semoga lolos yah. Semoga Allah memberikan jawaban yang terbaik buat usaha kita selama seminggu ini. Semoga artikel kita lolos ke babak final. Amin ya Allah,” ucapku penuh harap.
“Amin ya Allah,” balas Fredi dan Lilis bersamaan.
            Setelah itu kami memutuskan untuk kembali ke kos masing-masing. Karena hari sudah petang dan mulai gelap, aku diantar pulang ke kos oleh Fredi menggunakan sepeda motornya. Sedangkan Lilis pulang mengendarai sepeda motornya sendiri. Ketika pulang, ada raut kepuasan dan kelegaan terpancar dari wajah kami bertiga, berbeda dengan raut muka kami ketika baru datang yang penuh dengan tanda tanya dan rasa penasaran akan pengkoreksian artikel kami. Namun, semuanya telah usai. Artikel kami sudah kami koreksi ulang dan siap untuk di kirim. Sesampainya di kos, aku langsung menunaikan ibadah salat Magrib. Tak lupa setelah salat, ku panjatkan doa agar Allah memberikan jawaban terindahnya akan usaha yang telah aku, Fredi , dan Lilis lakukan. Semoga artikel kami lolos ke babak final. Amin. Setelah salat langsung cepat-cepat ku nyalakan laptopku. Tak lupa ku tancapkan modem ke laptopku. Setelah koneksi internet terhubung, segera aku kirim artikel kami ke alamat email panitia lomba. Ku tekan pilihan “SEND”, dan akhirnya terkirimlah artikel kami, tinggal menunggu hasilnya 3 hari lagi.
            Tiga hari kemudian, pengumuman hasil seleksi tahap pertama diumumkan. Setelah mendapatkan SMS pemberitahuan dari panitia bahwa hasil seleksi artikel sudah bisa dilihat di email masing-masing peserta, segera saja ku buka emailku. Benar saja, di menu inbox ku terlihat ada satu pesan masuk. Tak sabar aku ingin melihatnya. Langsung saja aku buka file nya. “Alhamdulillah” adalah kata pertama yang terucap saat aku membaca hasilnya. Betapa senangnya dan betapa besyukurnya mengetahui artikelku bersama Fredi dan Lilis lolos ke babak final. Dan yang menambah rasa bangga tersendiri adalah dengan mendudukinya artikel kami di posisi pertama, mengalahkan 32 artikel yang ada. Ucapan puji syukur, Alhamdulillah, tak henti-hentinya terucap dari mulut saya.
“ Alhamdulillah...terima kasih ya Allah atas jawaban terindahmu akan doaku selama ini,” gumamku dalam hati.
            Mendapati bahwa artikel kami lolos, langsung saja aku kirim SMS ke Fredi dan Lilis.
Lilis, Fredi, Alhamdulillah artikel kita lolos ke babak final. Jangan lupa persiapkan buat besok finalnya. Kita akan debat melawan tim dari FIP. Siapkan materi yang ada ya, semangat !” Begitulah isi dari SMS saya. Nampak aroma kebahagiaan terpancar dari SMS balasan dari Fredi dan Lilis. Mereka berdua begitu senang dan bersyukur karena artikel kami lolos.
            Esok paginya, hari yang dinanti-nantikan itu pun datang juga. Hari di mana 8 tim berkumpul dengan membawa argumen mereka sendiri-sendiri. Kedelapan tim termasuk timku telah siap beradu argumen membahas tentang kurikulum 2013. Atmosfer persaingan pun begitu terasa. Tepat pukul 8.00 WIB lomba di mulai. Setiap tim mebawakan argumen masing-masing. Suasana perdebatan berlangsung begitu seru. Argumen yang dibawakan oleh masing-masing tim sangat kuat, sehingga sulit bagi juri untuk memilih tim mana yang paling kuat argumennya, dan tim mana yang akan menjadi pemenangnya. Kebetulan saat itu, tim kami berhadapan dengan tim dari FIP. Kami saling berdebat menyampaikan argumen kami masing-masing. Setelah debat dari masing-masing kelompok selesai dan penjurian telah selesai, tibalah pengumuman dari dewan juri siapa yang menjadi pemenangnya. Setelah dewan juri menyampaikan sekilas tentang jalannya debat, kini saatnya dewan juri mengumumkan siapa yang menjadi pemenangnya. Akhirnya dewan juri memilih tim dari FIP yang menjadi pemenangnya, karena berdasarkan argumen yang mereka bawakan, mereka lebih bisa meyakinkan dewan juri dibandingkan dengan tim dari kelompok lain.  Mendapati hasil yang didapatkan, aku,Fredi,dan Lilis sedikit merasa agak kecewa, namun itu tak apa. Kami menyadari bahwa di setiap kompetisi pastilah ada yang menang dan ada yang kalah. Hal  terpenting bagi kami yaitu kami bisa membuktikan bahwa artikel yang kami buat layak diikutkan lomba terbukti dengan lolosnya artikel kami ke babak final. Ini semua juga membuktikan akan apa yang selama ini diyakini oleh kami bertiga. Aku,Lilis,dan Fredi yakin akan kekuatan sebuah harapan. Harapan yang akan berbuah manis selagi ada doa dan usaha.