HARAPAN ITU MASIH ADA
Pagi
itu langit tampak begitu cerah. Guratan awan putih terlukis indah di cakrawala
ditemani sang surya yang seakan masih malu menampakkan pesonanya. Kicau burung
dan hembusan angin yang semilir menggoyangkan dedaunan seakan menambah rasa
damai di kampus konservasi tercinta. Gedung-gedung yang berdiri kokoh tampak
seakan membisu menandakan bahwa tiada keramaian di dalamnya. Hari yang masih
terlalu pagi untuk memulai segala aktivitas kampus yang ada. Namun, pagi itu, tampak
seorang gadis remaja dengan baju merah ditemani laptop di tangannya sedang
duduk sembari menikmati suasana yang ada. Ia nampak sedang menanti seseorang di
sana.
“
Wah, baru jam 06.00 to, pantesan masih sepi,” gumam gadis itu sambil melirik
jam berwarna hitam yang melingkar di tangan kirinya.
“
Robi’!” teriak seorang anak laki-laki sambil melambaikan tangan ke arahnya.
“
Udah lama di sini? Sorry ya aku telat, tadi soalnya aku sarapan dulu,” jelasnya.
“
Ya gak papa kok,Fred. Lagian Lilis juga belum datang. Dia SMS aku tadi,
bilangnya dia kesiangan, jadinya mungkin rada telat dianya,” ucapku sembari
mengotak-atik tulisan di laptop.
“Gimana
Bi’, hasil koreksian artikel kita dari Mbak Firstya? Bagus apa gak?”, tanya
Fredi seakan penasaran menanti jawaban dari mulutku.
“
Ada kabar buruk,Fred. Kata Mbak Firstya artikel lomba debat kita masih jelek
dan belum layak diikutkan lomba,” jelasku sambil memperlihatkan hasil koreksian
ke dia.
“
Loh kok bisa to Bi’? Kita kan bikinnya udah mati-matian. Kita juga bikinnya gak
asal-asalan, udah sesuai prosedur menulis artikel yang baik dan benar. Tapi, di
sini kok gak ditulis bagian mana saja yang salah sich Bi’? Jangan-jangan Mbak
Firstya asal-asalan ngoreksi artikel kita,” gerutu Fredi.
“
Gak tau, Fred. Mbak Firstya bilangnya gitu, artikel kita belum layak diikutkan
lomba. Dia bilangnya judul kita kurang menarik, ejaan masih banyak yang salah,
terus bilangnya itu bukan artikel tapi lebih mirip ke teks apa gitu, aku lupa,”
jelasku.
“Masak
sich,Bi’? Menurutku ini udah artikel dech. Kita bikinnya ini kan juga gak
sembarangan, udah sesuai pedomannya. Masak dibilang bukan artikel sich,”
ujarnya penasaran.
“Aku
sich nganggepnya ini juga udah artikel. Tapi gak tau kenapa Mbak Firstya bilang
ini bukan artikel,” jawabku sembari memeriksa artikel di tanganku.
“Hai,
guys, sorry aku telat, tadi kesiangan
soalnya,” jelas Lilis yang tiba-tiba muncul dari arah belakang kami, memecahkan
percakapan antara aku dan Fredi.
“Gimana-gimana
hasilnya? Sudah bagus kan artikel kita? “ tanya Lilis.
“Artikel
kita kata Mbak Firstya belum layak ikut lomba,Lis,” jawabku sambil melenguh
panjang.
“Apa?
Kok bisa?” tanyanya penasaran.
“
Yah gitu,Lis. Mbak Firstya bilang masih banyak yang harus dibenahi dalam
artikel kita. Tapi dia gak ngasih tahu bagian-bagian mana yang salah. Cuma
bilang judul kita belum menarik terus ejaannya juga masih banyak yang salah,
tapi kita gak tau letak kesalahannya di mana,” jelas Fredi panjang lebar.
“
Yah...gak bisa gitu dong. Mbak Firstya kok gitu sich, malah mematahkan semangat
kita. Dulunya kita disuruh ikut lomba debat ini, giliran kita udah bikin
artikelnya malah dibilang masih belum layak ikut lomba. Aduh..,jadi pusing aku.
Lha terus, kita mau gimana nich, Fred, Bi’?Lanjut apa gak?” tanya Lilis sambil
menatap ke arahku dan Fredi.
“Aku
sich pengennya lanjut. Kalau kamu gimana Bi’? Kamu kan ketua kelompok kita.
Semua keputusan ada di tanganmu,” tanya Fredi kepadaku.
“
Aku bingung,Fred,Lis. Kalau kita lanjut, itu berarti kita harus bikin lagi dari
awal. Sedangkan batas pengumpulan artikel ke panitia kan besok. Apa kita masih
punya waktu untuk membenahi artikel kita dari awal? Apa kita sanggup untuk
menyelesaikan malam ini?” tanyaku kepada mereka berdua.
“
Ah gini aja,Bi’. Kita gak perlu membuat ulang dari awal lagi. Kalau Mbak
Firstya minta kita buat bikin ulang dari awal karena menurutnya artikel kita
jelek itu kan cuma pendapat dari dia doang. Yang lain belum tentu punya
pendapat yang sama kan dengan Mbak Firstya. Lagian pas kemarin kita nunjukkin
artikel kita ke temen-temen, mereka kan bilangnya udah bagus. Memang judul
artikel kita rada kurang menarik dan masih ada beberapa ejaan yang kurang
sempurna, tapi kan gak semuanya salah seperti yang dibilang Mbak Firstya. Jadi
menurutku kita tetep lanjut aja dech,” jelas Fredi dengan mantap.
“
Setuju banget sama Fredi,” ucap Lilis sambil mengacungkan dua jempol ke
arahnya.
“
Jadi menurut kalian kita tetep lanjut dan judul artikel kita diganti yang lebih
menarik lagi dan ejaannya yang sekiranya salah, kita betulin lagi gitu?”
tanyaku kepada mereka berdua.
“
Yap!” jawab Lilis dan Fredi serempak.
“
Oke, kalau gitu mari kita lanjutkan dan benahi artikel kita. Peduli amat sama
pendapat Mbak Firstya. Artikel kita bagus kok dan layak ikut lomba. Ya gak,guys?” ujarku bersamangat.
“
Yoi,Bi’. Pokoknya kita harus tunjukin ke Mbak Firstya kalau artikel kita gak
seperti yang dia bilang. Kita harus tunjukin bahwa artikel kita bisa masuk
final lomba debat ini. Setuju,guys?”
ucap Fredi menggebu-gebu.
“
Setuju!” jawabku dan Lilis bersemangat.
Setelah memutuskan kita bakalan
lanjut, kami bertiga memulai untuk melakukan pengkoreksian ulang. Kita begitu
bersemangat, seperti semangatnya bangsa Indonesia dalam melawan penjajah.
Harapan yang hilang karena dibilang artikel kita tidak layak, tiba-tiba muncul
kembali. Kami yakin harapan itu masih ada. Tuhan tidak tidur. Tuhan pasti
membantu umatnya yang mau berusaha dan berdoa, itulah yang kami yakini. Kami
seakan merasakan jernihnya pikiran kami saat melakukan pengkoreksian ulang. Ide
begitu derasnya mengalir tanpa bisa dibendung. Judul pengganti sudah kami
tentukan, yang semula “ Pro dan Kontra Kurikulum 2013” kami ubah menjadi
“Mengkaji Ulang Kurikulum 2013”. Menurut kami judul itu sudah sesuai dan sudah
bisa mempresentasikan isi dari artikel kami. Sedangkan untuk ejaan yang masih
salah kami mencoba membetulkannya sesuai KBBI. Kami membetulkan beberapa kata
yang salah seperti ekstrakulikuler menjadi ekstrakurikuler, kemudian tanda baca
yang kurang sesuai juga kami betulkan. Semua yang dirasa oleh kami kurang
sesuai kami betulkan sesuai kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kebetulan hari itu kami bertiga tidak ada jadwal kuliah, jadinya kami bisa
melakukan pengkoreksian dan membenahi artikel kami seharian penuh. Begitu asyik
kami mengerjakan artikel kami sampai-sampai tak terasa hari mulai petang. Jam
di tanganku sudah menunjukkan pukul 17.45 WIB. Tak lama berselang, terdengar
suara adzan Magrib berkumandang dari salah satu masjid yang tak jauh dari tempat
kami berada.
“
Udah Magrib nich,Bi’. Gimana udah selesai kan?” tanya Fredi kepadaku.
“
Udah, Fred. Tinggal daftar pustakanya doang. Nanti aku tambahin saat di kos
aja, sekalian aku kirim. Di sini jaringannya mulai lemot nich, daripada ntar
kelamaan mending tak kirim kalau udah di kos aja, pake modem lebih cepet
soalnya,” terangku kepada Fredi.
“
Okay dech,Bi’. Berarti ini udah beres semua ya? Tinggal ngirim doang kan?”
tanya Fredi.
“
Yoi, Fred. Nanti malam biar aku yang ngirim. Nanti tanggal 20 kan pengumumannya
di kirim lewat emailku. Lolos atau enggaknya nanti aku kabarin kalian. Semoga
lolos yah. Semoga Allah memberikan jawaban yang terbaik buat usaha kita selama
seminggu ini. Semoga artikel kita lolos ke babak final. Amin ya Allah,” ucapku
penuh harap.
“Amin
ya Allah,” balas Fredi dan Lilis bersamaan.
Setelah itu kami memutuskan untuk
kembali ke kos masing-masing. Karena hari sudah petang dan mulai gelap, aku
diantar pulang ke kos oleh Fredi menggunakan sepeda motornya. Sedangkan Lilis
pulang mengendarai sepeda motornya sendiri. Ketika pulang, ada raut kepuasan
dan kelegaan terpancar dari wajah kami bertiga, berbeda dengan raut muka kami
ketika baru datang yang penuh dengan tanda tanya dan rasa penasaran akan
pengkoreksian artikel kami. Namun, semuanya telah usai. Artikel kami sudah kami
koreksi ulang dan siap untuk di kirim. Sesampainya di kos, aku langsung
menunaikan ibadah salat Magrib. Tak lupa setelah salat, ku panjatkan doa agar
Allah memberikan jawaban terindahnya akan usaha yang telah aku, Fredi , dan
Lilis lakukan. Semoga artikel kami lolos ke babak final. Amin. Setelah salat
langsung cepat-cepat ku nyalakan laptopku. Tak lupa ku tancapkan modem ke
laptopku. Setelah koneksi internet terhubung, segera aku kirim artikel kami ke
alamat email panitia lomba. Ku tekan pilihan “SEND”, dan akhirnya terkirimlah
artikel kami, tinggal menunggu hasilnya 3 hari lagi.
Tiga hari kemudian, pengumuman hasil
seleksi tahap pertama diumumkan. Setelah mendapatkan SMS pemberitahuan dari
panitia bahwa hasil seleksi artikel sudah bisa dilihat di email masing-masing
peserta, segera saja ku buka emailku. Benar saja, di menu inbox ku terlihat ada
satu pesan masuk. Tak sabar aku ingin melihatnya. Langsung saja aku buka file
nya. “Alhamdulillah” adalah kata pertama yang terucap saat aku membaca
hasilnya. Betapa senangnya dan betapa besyukurnya mengetahui artikelku bersama
Fredi dan Lilis lolos ke babak final. Dan yang menambah rasa bangga tersendiri
adalah dengan mendudukinya artikel kami di posisi pertama, mengalahkan 32 artikel
yang ada. Ucapan puji syukur, Alhamdulillah, tak henti-hentinya terucap dari
mulut saya.
“
Alhamdulillah...terima kasih ya Allah atas jawaban terindahmu akan doaku selama
ini,” gumamku dalam hati.
Mendapati bahwa artikel kami lolos,
langsung saja aku kirim SMS ke Fredi dan Lilis.
“
Lilis,
Fredi, Alhamdulillah artikel kita lolos ke babak final. Jangan lupa persiapkan
buat besok finalnya. Kita akan debat melawan tim dari FIP. Siapkan materi yang
ada ya, semangat !” Begitulah isi dari SMS saya. Nampak
aroma kebahagiaan terpancar dari SMS balasan dari Fredi dan Lilis. Mereka
berdua begitu senang dan bersyukur karena artikel kami lolos.
Esok paginya, hari yang
dinanti-nantikan itu pun datang juga. Hari di mana 8 tim berkumpul dengan
membawa argumen mereka sendiri-sendiri. Kedelapan tim termasuk timku telah siap
beradu argumen membahas tentang kurikulum 2013. Atmosfer persaingan pun begitu
terasa. Tepat pukul 8.00 WIB lomba di mulai. Setiap tim mebawakan argumen
masing-masing. Suasana perdebatan berlangsung begitu seru. Argumen yang
dibawakan oleh masing-masing tim sangat kuat, sehingga sulit bagi juri untuk
memilih tim mana yang paling kuat argumennya, dan tim mana yang akan menjadi
pemenangnya. Kebetulan saat itu, tim kami berhadapan dengan tim dari FIP. Kami
saling berdebat menyampaikan argumen kami masing-masing. Setelah debat dari
masing-masing kelompok selesai dan penjurian telah selesai, tibalah pengumuman
dari dewan juri siapa yang menjadi pemenangnya. Setelah dewan juri menyampaikan
sekilas tentang jalannya debat, kini saatnya dewan juri mengumumkan siapa yang
menjadi pemenangnya. Akhirnya dewan juri memilih tim dari FIP yang menjadi
pemenangnya, karena berdasarkan argumen yang mereka bawakan, mereka lebih bisa
meyakinkan dewan juri dibandingkan dengan tim dari kelompok lain. Mendapati hasil yang didapatkan, aku,Fredi,dan
Lilis sedikit merasa agak kecewa, namun itu tak apa. Kami menyadari bahwa di
setiap kompetisi pastilah ada yang menang dan ada yang kalah. Hal terpenting bagi kami yaitu kami bisa
membuktikan bahwa artikel yang kami buat layak diikutkan lomba terbukti dengan
lolosnya artikel kami ke babak final. Ini semua juga membuktikan akan apa yang
selama ini diyakini oleh kami bertiga. Aku,Lilis,dan Fredi yakin akan kekuatan
sebuah harapan. Harapan yang akan berbuah manis selagi ada doa dan usaha.